Apa yang ada di pikiran teman-teman semua kalau mendengar
kata tersebut? Pasti sebagian dari teman-teman ada yang bilang “masa sih?” atau
“ah bohong ah” dan sebagian yang lain bilang “warnanya apa emang?”. Nah sebelum
menjawab ke-kepo-an atau komentar teman-teman semua, sebelumnya kita bahas dulu
nih kaitannya ke perubahan iklim.
Kalau perubahan iklim, pasti teman-teman udah pada tau semua kan ya itu apa?. Iya, jadi perubahan iklim itu merupakan iklim yang mengalami perubahan karena suhu global rata-rata yang meningkat. Meningkatnya suhu global ini salah satunya karena emisi gas rumah kaca (GRK) yang meningkat dimana salah satu GRK yang kita ketahui yaitu gas CO2 yang memerangkap suhu panas di atmosfer bumi. Akibatnya selain menjadi panas, peristiwa-peristiwa cuaca seperti curah hujan juga mengalami perubahan dan gelombang panas yang ada menjadi semakin ekstrim. Dengan begitu kita jadi tidak bisa melakukan prediksi cuaca lagi secara tepat dan akurat, serta berdampak pada mata pencaharian orang-orang (Unilever, 2017).
Lalu hubungan antara perubahan iklim sama judul di atas apa?. Nah, ternyata secara alami karbon memang menyusun atmosfer bumi dan mengalami siklus yang disebut siklus karbon, dimana salah satu siklus (dijelaskan di gambar) yang terjadi disebut dengan blue carbon (karbon biru). Blue carbon merupakan proses penyerapan sumber karbon (termasuk CO2) di atmosfer yang dilakukan oleh ekosistem pantai dan laut. Jadi, yang dimaksud disini adalah bukan karbonnya yang memiliki warna biru, tapi salah satu proses dari siklus karbon yang dilakukan di wilayah yan berwarna biru (lautan dan pantai). Biasanya proses blue carbon ini dilakuan oleh ekosistem tumbuhan mangrove, ekosistem rawa payau, dan tumbuhan padang lamun (sea grass). Karbon-karbon akan diserap dan disimpan oleh organisme yang berada dalam ekosistem tersebut dalam bentuk sedimen. Ketika karbon tersimpan di dalam laut, hasil penyimpanan tersebut akan terus bertahan lama, bukan puluhan tahun melainkan ratusan, bahkan ribuan tahun. Dengan adanya blue carbon ini, setidaknya sebesar 38000x1015 g karbon disimpan dalam laut. Jumlah ini hampir 10x lipat lebih banyak dibandingkan jumlah karbon yang dapat disimpan di wilayah daratan, karena seperti teman-teman ketahui, bahwa bumi ini 70% wilayahnya adalah perairan. Oleh karena itu, adanya proses blue carbon dapat menjadi peluang dalam proses mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi (Supangat, 2014).
Kalau perubahan iklim, pasti teman-teman udah pada tau semua kan ya itu apa?. Iya, jadi perubahan iklim itu merupakan iklim yang mengalami perubahan karena suhu global rata-rata yang meningkat. Meningkatnya suhu global ini salah satunya karena emisi gas rumah kaca (GRK) yang meningkat dimana salah satu GRK yang kita ketahui yaitu gas CO2 yang memerangkap suhu panas di atmosfer bumi. Akibatnya selain menjadi panas, peristiwa-peristiwa cuaca seperti curah hujan juga mengalami perubahan dan gelombang panas yang ada menjadi semakin ekstrim. Dengan begitu kita jadi tidak bisa melakukan prediksi cuaca lagi secara tepat dan akurat, serta berdampak pada mata pencaharian orang-orang (Unilever, 2017).
Lalu hubungan antara perubahan iklim sama judul di atas apa?. Nah, ternyata secara alami karbon memang menyusun atmosfer bumi dan mengalami siklus yang disebut siklus karbon, dimana salah satu siklus (dijelaskan di gambar) yang terjadi disebut dengan blue carbon (karbon biru). Blue carbon merupakan proses penyerapan sumber karbon (termasuk CO2) di atmosfer yang dilakukan oleh ekosistem pantai dan laut. Jadi, yang dimaksud disini adalah bukan karbonnya yang memiliki warna biru, tapi salah satu proses dari siklus karbon yang dilakukan di wilayah yan berwarna biru (lautan dan pantai). Biasanya proses blue carbon ini dilakuan oleh ekosistem tumbuhan mangrove, ekosistem rawa payau, dan tumbuhan padang lamun (sea grass). Karbon-karbon akan diserap dan disimpan oleh organisme yang berada dalam ekosistem tersebut dalam bentuk sedimen. Ketika karbon tersimpan di dalam laut, hasil penyimpanan tersebut akan terus bertahan lama, bukan puluhan tahun melainkan ratusan, bahkan ribuan tahun. Dengan adanya blue carbon ini, setidaknya sebesar 38000x1015 g karbon disimpan dalam laut. Jumlah ini hampir 10x lipat lebih banyak dibandingkan jumlah karbon yang dapat disimpan di wilayah daratan, karena seperti teman-teman ketahui, bahwa bumi ini 70% wilayahnya adalah perairan. Oleh karena itu, adanya proses blue carbon dapat menjadi peluang dalam proses mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi (Supangat, 2014).
Sebagai info juga nih buat teman-teman semua, di Indonesia
sendiri, istilah blue carbon ini sudah
mulai diperhatikan oleh pemerintah dan juga mulai dicanangkan sebagai hal yang
berpotensi besar dalam mengurangi emisi gas CO2 yang ada. Hal tersebut
sesuai pula dengan kesepakatan pada COP 22 di Maroko pada tahun lalu yang
menyatakan bahwa salah satu upaya yang akan ditempuh dalam penurunan emisi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim adalah melalui pertimbangan fungsi ekosistem
laut dan mangrove. Menurut Dr. Ahmad Poernomo, Staf Ahli Menteri Kelautan dan
Perikanan Bidang Perubahan Iklim menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi
mangrove seluas 3.11 juta ha dan padang lamun sebesar 3 juta ha. Lalu, menurut
Dr. Nur Masripatin selaku ketua tim negosiator Delegasi Indonesia menyampaikan
bahwa Indonesia telah masuk dalam anggota Blue Carbon Partnership, dimana
kerjasama ini memiliki nilai strategis karena peranan ekosistem pesisir dan
laut telah diakui dalam konvensi maupun Perjanjian Paris. Selain berpotensi
terhadap global, menurut Dr. Nur juga blue
carbon sangat berpotensi dalam mendukung program nasional penurunan emisi,
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, namun kompleksitas pengelolaannya
memerlukan peningkatan di masa mendatang (DitJen PPI, 2016).
Gambar 2 Hutan mangrove di Teluk Etna, Kab. Kaimana, Papua Barat yang masih asri (Fajar, 2016)
Nah jadi gimana teman-teman? Ternyata adanya blue carbon ini secara alami bisa menjadi salah satu upaya dalam mengurangi dampak dari perubahan iklim yang terus menerus semakin terasa ini, dan juga kita juga dapat berkontribusi lebih dengan mempertahakan atau bahkan meningkatkan proses blue carbon ini dengan cara tidak merusak lingkungan mangrove yang ada, atau membuang sampah sembarangan di ketika berada di pantai, dan yang lebih seru adalah dengan melakukan penanaman mangrove. Demikianlah yang bisa saya sampaikan ke teman-teman semua, dan sebelumnya mohon maaf kalau ada teman-teman yang merasa kecewa. Dan untuk penutup, mohon like, share, dan komentarnya terhadap artikel ini atau opini teman-teman semua sebagai bahan masukkan untuk dimasukkan ke dalam tugas Mata Kuliah Kebijakan Iklim. Terima Kasih.
Gambar 2 Hutan mangrove di Teluk Etna, Kab. Kaimana, Papua Barat yang masih asri (Fajar, 2016)
Nah jadi gimana teman-teman? Ternyata adanya blue carbon ini secara alami bisa menjadi salah satu upaya dalam mengurangi dampak dari perubahan iklim yang terus menerus semakin terasa ini, dan juga kita juga dapat berkontribusi lebih dengan mempertahakan atau bahkan meningkatkan proses blue carbon ini dengan cara tidak merusak lingkungan mangrove yang ada, atau membuang sampah sembarangan di ketika berada di pantai, dan yang lebih seru adalah dengan melakukan penanaman mangrove. Demikianlah yang bisa saya sampaikan ke teman-teman semua, dan sebelumnya mohon maaf kalau ada teman-teman yang merasa kecewa. Dan untuk penutup, mohon like, share, dan komentarnya terhadap artikel ini atau opini teman-teman semua sebagai bahan masukkan untuk dimasukkan ke dalam tugas Mata Kuliah Kebijakan Iklim. Terima Kasih.
Sumber
:
Climate
Literacy Labs. 2017. The Carbon Cycle.
[online]. http://sites.gsu.edu/geog1112/lab-4-2/, diakses pada Jum’at, 14 April 2017, 08.20.
DitJen
PPI. 2016. Blue Carbon Indonesia –
Potensi Besar yang Belum Tergarap. [online]. http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/2791-blue-karbon-indonesia-potensi-besar-yang-belum-tergarap.html,
diakses pada Jum’at, 14 April 2017, 07.45.
Fajar,
Jay. 2016. Indonesia Kembali Ungkapkan Blue Carbon Untuk
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. [online]. http://www.mongabay.co.id/2016/11/20/indonesia-kembali-ungkapkan-blue-carbon-untuk-mitigasi-dan-adaptasi-perubahan-iklim/,
diakses pada Jum’at, 14
April 2017, 07.15.
Supangat,
Agus. 2014. Quo Vadis “Blue Carbon” di
Indonesia?. [online]. http://www.mongabay.co.id/2014/06/26/que-vadis-blue-carbon-di-indonesia/,
diakses pada Jum’at, 14 April 2017, 07.15.
Unilever.
2017. Apa itu Perubahan Iklim, Bagaimana
Caranya Kita Beraksi?. [online]. https://brightfuture.unilever.co.id/stories/473087/Apa-itu-perubahan-iklim-bagaimana-caranya-kita-beraksi-.aspx,
diakses pada Jum’at, 14 April 2017, 08.00.
Komentar
Posting Komentar